Gak ada post di bulan Maret. Such a shame
padahal targetnya one month one post. My reading target isn’t achieved too. I should
have finished reading my 7th and should currently reading my 8th
book this year by today. Unfortunately, I only finished 5. Shame on me.
Ya, I’ll get myself back on track. I will.
But hey, instead of keep on feeling gloomy this
Sunday, I will review those books I’ve read so far.
Those are: Kambing & Hujan: Sebuah Roman,
Amba, Le Petit Prince, #GILAVINYL, and Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon.
I am currently reading Semua Ikan di Langit,
haven’t finished yet. It takes like a decade for me to finish it, maybe because
I don’t enjoy the story. Ziggy’s previous novel I read was “Di Tanah Lada”
which is finished in only one night. Oh ya, ada juga novel Rumah Hujan yang
belum jadi dibaca karena dibelinya random terus pas cek review pada bilang gak
bagus. Duh. Salah banget kenapa pake ngecek review gitu.
Ah, let’s just start the review:
***disclaimer: review ditulis secara amatir
oleh pembaca amatir yang gak secinta itu pada sastra. Tulisan ini juga bisa
jadi ada spoiler-nya. Kata temen saya, post ini gak tau diri dan gak sopan. 5 buku dalam satu post dikomentarin dengan skill review cetek***
1. Kambing
& Hujan: Sebuah Roman
On the first days in my office after
orientation, I got so little to do and ended up clicking goodreads.com and
found this book as recommendation so I bought it. Novel ini dinobatkan sebagai
Pemenang I dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Jadi
sebelum baca saya pasang ekspektasi tinggi. Di punggung buku sinopsinya
tertulis seperti ini:
“Miftahul Abrar tumbuh dalam tradisi Islam modern. Latar
belakang itu tidak membuatnya ragu mencintai Nurul Fauzia yang merupakan anak
seorang tokoh Islam tradisional. Namun, seagama tidak membuat hubungan mereka
baik-baik saja. Perbedaan cara beribadah dan waktu hari raya serupa jembatan
putus yang memisahkan keduanya, termasuk rencana pernikahan mereka.”
Menurut saya sih, titik berat
ceritanya bukan itu. Lebih ke luka lama kedua orang tua mereka yang kebetulan
berbeda paham antara Islam modern dan tradisional dan terbawa-bawa sampai
anak-anak mereka. Luka lamanya pun sebenarnya banyak yang bukan tentang agama,
lebih berat tentang gadis pujaan yang jatuh ke tangan seorang kawan baik,
tentang cemburu akan satu sama lain, dan tentang ego mereka di masyarakat.
Happy ending. Saya kurang suka
dengan Fauzia hahaha. Dia kayak cuma anak manja yang ngebet minta nikah.
Oh ya, sebagai orang yang awam
tentang Islam dan perbedaan antara Islam modern dan tradisional, novel ini
memberikan banyak sekali pengetahuan baru akan hal tersebut.
Bagian yang paling diingat: ketika
pemuda desa mereka nekat menebang pohon yang dianggap keramat dan pohonnya
melayang. Saya pernah merasakan kegusaran yang serupa di tempat asal hihi.
2.
Amba
Sebuah Novel
Beberapa halaman Amba sebenarnya
sudah dibaca di akhir 2016. Bacanya online lewat iJakarta. Tapi, karena novel
isinya cukup memerlukan konsentrasi buat dibaca dan tebal juga, jadi bacanya
sempat terputus sampai akhirnya saya beli novel cetakannya waktu Gramedia World
Harapan Indah baru buka. Novel ini kalau dicek revienya kayak banyak banget
yang mengelu-elukan gitu. Terus ada cap “A National Bestseller” pada kover
depannya.
Tapi ternyata saya gak merasakan
euphoria sedahsyat itu. Mungkin gara-gara pemahaman sastra saya yang rendah
sih. Jadi yang saya tangkap dari novel ini adalah seorang perempuan pencemburu
dan gegabah dan overthinking yang bikin hidupnya ribet sendiri. Ceritanya
dibalut dengan cerita pewayangan Amba-Bhisma-Salwa dan latar cerita tahun 65.
Lagi-lagi kesel sendiri sama tokoh
perempuan. Amba itu egois banget. Atau mungkin saya aja yang belum mengerti
kalau cinta memang seharusnya bisa sekuat itu.
Tokoh favorit: Samuel. Soalnya dia
kayak baik banget gitu dan enggak ngotot atas kepemilikan terhadap perasaan
suka dan seseorang.
3.
Le
Petit Prince
Lagi-lagi beli buku gegara citra
bukunya. Eh, selain itu gara-gara judul buku ini muncul di “Di Tanah Lada” juga
deh. Di belakang kover Le Petit Prince
ditulis gini:
“Pangeran Cilik termasuk buku yang paling banyak diterjemahkan di
dunia. Konon pernah disadur ke dalam 230 bahasa asing. Buku ini memang luar
biasa. Tampaknya seolah cerita anak-anak, tapi sebenarnya dinikmati dan
direnungkan juga oleh orang dewasa.”
Setelah baca Le Petit Prince saya jadi
lebih paham Di Tanah Lada yang kena pengaruh cukup keras dari buku ini.
Buku ini tipis banget, sekali duduk
juga selesai. Awalnya agak membingungkan dan susah ngerti. Ya mungkin karena
alasan klasik bahwa saya yang cupu dan gak paham sastra hehe. Tapi setelah
membiasakan diri, yang saya tangkep, ceritanya nyelekit-nyelekit gitu. Tentang
seorang imaginary prince yang tiba tiba muncul bumi dan bercakap-cakap sama
pilot yang juga terdampar karena pesawatnya rusak. Cerita-cerita yang dikasih
tahu pengeran ini beneran kayak nyubit-nyubit dengan logika polos dan
sederhana.
Bagian paling haru: waktu pangeran
ngomongin soal bunga di planetnya yang dia sayang banget. Huffffff. Sampai
diselimutin biar ga kedinginan. Yang bagi dia, bunga itu cuma satu padahal di
bumi dia liat ada sekebun. Tapi ya si bunga kayak angkuh banget dan gak bisa
menyampaikan perasaan sayangnya ke pangeran dengan baik, padahal kayaknya dia
juga sayang.
4.
#GILAVINYL:
Seluk Beluk Mengumpulkan Rekaman Piringan Hitam
Jelas buku ini bukan punya saya,
enggak mungkin banget Wika beli buku semacem ini. Yup. Ini punya temen yang
tergila-gila sama vinyl. Saya baca karena kepo, kok bisa ada orang yang segila
itu ngabisin duit gak sedikit buat beli rekaman-rekaman lagu yang sebenarnya
jauuuuuuuuuuuh lebih murah beli versi digital, atau dengar gratis di Spotify,
atau beli CD aja deh.
Dari buku ini, saya jadi tahu,
ternyata orang-orang kayak gitu ada banyak! Gila emang. Tapi keren sih. Bisa
secinta itu akan sesuatu. Sama kayak si pangeran cinta sama bunganya, atau
kayak Amba ke Bhisma. Ah, lagi-lagi mungkin gara-gara saya aja nih yang gak
paham cinta dengan baik hahahaha.
Sebagai orang yang bukan penikmat
apalagi penggila vinyl dan bahkan baru pernah pegang vinyl minggu lalu, buat
saya buku ini alur pemaparannya membosankan di bagian cerita-cerita orang yang
diwawancarai soal dia dan vinylnya. Kayak pertanyaan yang diulik itu-itu aja,
dan gak jarang juga jawabannya mirip-mirip. Tapi, mungkin buat penggila vinyl
macem temen saya itu, buku ini menarik banget karena baca buku ini kayak nonton
orang ngobrol soal vinyl. Ada juga rekomendasi tempat-tempat berburu vinyl dan
dilengkapi dengan berbagai definisi istilah per-vinyl-an. Kalau satu frekuensi
pasti nyambung dan excited gitu kan, kalo beda frekuensi macem saya..hmm..cukup
tau aja deh hehe.
Yang remarkable dari buku ini:
Arian13, musisi dengan band super cadas, bapaknya lulus MIT, scientist. Yap,
salah fokus emang. Hahahaha. Oh ya, rata-rata orang-orang ini berada di
lingkaran yang terhubung satu sama lain loh ternyata.
5.
Cerpen
Pilihan Kompas 2014: Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon
Ini adalah kumpulan cerpen pilihan
Kompas kedua yang saya beli. Sebelumnya sudah pernah beli yang 2015, isinya
bagus bagus! Saya sempat berpikir jangan-jangan saya sudah jatuh cinta sama
cerpen sekarang! Ahaha. Beda dengan seri 2015, cerita di buku ini lebih banyak,
ada total 24. Yang paling membekas menurut saya ada 5: Di Tubuh Tarra, dalam
Rahim Pohon karya Faisal Oddang, Matinya Seorang Demonstran karya Agus Noor, Joyeux
Anniversaire karya Tenni Purwanti, Kaing Kaing Anjing Terlilit Jaring karya
Parakitri T. Simbolon, dan Menunda-nunda Mati karya Gde Aryantha Soethama.
Di seri 2014 ini, banyak cerita,
banyak pula yang saya gak paham. Iya, pemahaman saya akan sastra memang belum
cukup tinggi jadi masih kesulitan menerjemahkan cerita-cerita implisit dan
imajinatif dari para pengarang yang begitu dipuja orang-orang. Saya gak bisa
paham maksud dalam Lima Cerpen Sapardi Djoko Damono, atau cerpen Arsip Aku
dalam Kedalaman Krisis, atau Angela.
Terlepas dari susahnya memaksa
paham, buku ini tetap insightful banget. Ada satu kalimat dari tokoh Eka dalam
cerpen Matinya Seorang Demonstran yang bagi saya sangat well-expressed (karena
saya sangat setuju dengan pemahaman itu), yang bunyinya begini “Seseorang yang
bahagia adalah seseorang yang diberikan kesempatan memilih dalam hidup. Maka
aku memberimu kesempatan, agar kamu bisa memilih sendiri kebahagiaanmu.” Ah,
ini ultimate quote banget lah. Oh ya, sebenarnya cerita dalam cerpen ini
berkisah tentang dua orang pemuda. Satunya aktivis, satunya anak petinggi yang
terkenal seantero kampus tapi saat keduanya mati dalam kerusuhan malah anak petinggi
yang tak sengaja tertembak peluru nyasar ini yang dinobatkan jadi pahlawan.
Sedangkan si aktivis mati bagaikan tanpa jejak. Mereka berdua menyukai gadis
yang sama, dan tokoh aktivis ini lah yang melontarkan kalimat yang tadi saya
tulis di atas hehehe.
Menunda-nunda mati juga buat saya bagus banget karena saya berasa deket banget dengan ceritanya. Tipikal cerita mistis Bali yang dikemas sedemikian rupa bisa jadi sekeren itu! Di satu sisi, ini juga tentang istri yang berusaha menunda kematian suami tercinta dengan jalan membunuh lawan suaminya diam diam.
**Sampai di sini, saya jadi merasa kalian bisa
membaca kepribadian saya dari hal-hal yang saya garis bawahi di setiap buku
hehehe.**
***
Dari semua buku yang saya baca, saya selalu kagum, penulis-penulis bisa sebegitu hebat merangkai kata dan makna jadi sesuatu yang sangat indah. Penulis itu kayak ilmuwan juga sih, bedanya penulis itu mainnya sama kata kata. Oh ya, kemarin juga saya habis ngobrol dengan seorang teman calon scientist, a lot of things he shared in only some minutes we met. Will tell more about it in another post :)
So, what's on your list?
P.s. This post should have been posted by 8 pm tonight as i promised. But unfortunately, a friend force me to watch Due Date. Sebenarnya film komedi, tapi kesel banget nontonnya. Sama ngeselinnya kayak temen saya.
P.p.s. I type this on my iphone gegara batre laptopnya habis buat nonton. Jadi tulisannya rada nanggung.