Wednesday, August 22, 2018

Dua Puluh Empat

Dua puluh empat. Sudah dua tahun lalu lulus kuliah, sudah bekerja, bahkan sudah bosan bekerja di pabrik. Lebih banyak diam.

Saya sangat menyukai diam dan sepi belakangan, jauh berbeda dari dulu-dulu--sedikit-sedikit mencuit, sedikit-sedikit menelfon untuk mengeluh. Belakangan saya lebih suka diam saja. Rasanya lebih nyaman karena tidak harus menjelaskan apapun kepada siapapun. Entah ini dirasakan juga oleh semua yang berada pada usia saya. Di fase ini saya merasa bahwa lebih banyak orang tidak ingin mendengarkan ucapan ataupun cerita kita. Keluh kesah tidak bisa lagi sembarang ke teman-teman yang dulu dengan mudah kita ajak bicara. Beberapa kali saya mengalami tekanan yang cukup mengganggu belakangan ini, biasanya saya pasti akan menelfon beberapa orang untuk diajak bercerita. Tapi sekarang tidak begitu, saya hanya diam sampai akhirnya meledak pada satu teman lama. Menangis sejadinya karena akumulasi tekanan-tekanan menyebalkan. Menangis dan kemudian melanjutkan hidup seperti biasa. Seolah tidak ada yang terjadi.

Dua puluh empat. Beberapa waktu sebelum saya sampai di umur ini, bisa dilihat pada tulisan sebelumnnya, saya sudah mengalami yang mereka bilang sebagai quarter life crisis. Fase saat saya merasa begitu penting menentukan arah hidup tapi tetap tidak tahu mau dibawa kemana. Sejujurnya sekarang sudah tidak terlalu ambil pusing lagi. Saya berpikir sesederhana, "yasudah dijalani saja, mari lihat kemana angin akan membawa". Hahahaha. Dramanya kurang lebih begitu. Tapi sungguh, saya tidak sekhawatir dulu.

Meskipun sudah mencoba berpikir sederhana soal hidup, kadang saya masih tetap sedih hahaha. Urusan pekerjaan belakangan cukup runyam, sering rasanya ingin menyumpah serapah. Hanya saja sepulang kerja saya terlalu lelah, jadi hanya terkapar dan tidur. Diam, kemudian tidur. Kalaupun saya cerita, paling hanya sempat kulitnya saja. Saya tahu yang mendengarkan juga tak terlalu tertarik dan ia pun punya masalahnya sendiri.

Oh ya, kemarin ketika saya sakit, pertama kali saya tidak bilang ibu atau bapak. Hanya diam, di kosan, menangis seperti biasa. Hehe. Saya memang suka menangis kalau sakit.

Bukan, bukan saya tidak bahagia dengan hidup saat ini. Saya bahagia. Cuma heran saja, kenapa usia dua puluh empat ini rasanya semuanya sangat individualistis ya.

Orang dan kepentingannya masing-masing.

Apakah menjadi orang dewasa berarti hal-hal semacam ini adalah kewajaran?

Masa dimana empati orang sekitar ada di level yang mencemaskan.

So here I am. Writing my first post after my 24th birthday dengan satu-dua tetes air di ujung pelipis.

Siapa pula yang peduli kalau umur saya kini dua puluh empat?
Readmore → Dua Puluh Empat