Tuesday, February 27, 2018

Cerita Kami di Pinggir Rel Kereta

Aku dan kamu sama sama tinggal di Jakarta. Tapi pernahkah kamu membayangkan rasanya tinggal di sebelah rel kereta? Bising lokomotif tiap waktu, riuh kendaraan yang mengantri di palang pintu lengkap dengan lengking bunyi bel peringatannya, dan tentu saja klakson kereta yang sangat memekakan telinga. Kami hidup persis di pinggir rel itu.

Rumahku begitu essential. Ku buka pintu dan langsung berhadapan dengan jalanan. Jalan ini hanya muat untuk satu mobil ukuran sedang. Pagar hijau membatasi jalan dengan rel kereta; pemandanganku setiap hari. Lupakan halaman rumah atau taman, aku punya sepanjang jalan untuk main bola dan berlarian.
---
Kau masih cukup beruntung di sana. Rumahmu masih bisa dijangkau matahari. Mari main ke tempatku. Aku juga tinggal di pinggir rel kereta. Pagar yang membatasiku dan rel bukan besi-besi yang dicat hijau. Namun beton-beton precast yang disusun beberapa lapis. Salah satu dinding rumahku, ya, beton itu. Jadi tiap kali kereta melintas, rumahku pun akan bergetar. Depan rumahku adalah gang sempit, hanya muat untuk satu motor. Siang tak pernah terang di sini. Remang. Bayangkan jika hujan.
 ---
Bersyukurlah kalian yang masih punya jalan di depan rumah. Jalan satu satunya untuk ke rumahku adalah dengan menyebrangi rel Jakarta Kota - Kampung Bandan. Kami semua harus pandai menghafal jam-jam kereta lewat, di rel sebelah kiri atau kanan. Kemana-mana kami harus lewat lubang di tembok beton precast dekat stasiun.

---
Bagaimana dengan rumahmu? Aku dengar kau punya halaman belakang untuk main sepeda dan tempat kakakmu menanam bunga. Katanya juga dekat rumahmu ada lapangan bola. Apa benar jalan ke rumahmu dijaga satpam? Ah sungguh tidak asik, anak-anak pasti tidak boleh berisik.

Main-mainlah ke tempat kami. Di sini seru juga. Mungkin kita bisa main bola atau layangan di petak bekas rumah yang kemarin terbakar.




Readmore → Cerita Kami di Pinggir Rel Kereta

Tuesday, February 6, 2018

Menjelang Sore

Tenggorokannya tercekat. Sesuatu seakan mau meleleh dari sudut matanya. Apa ini? Sedih kah? Entahlah. Hari ini semuanya buyar. Dunia yang selama dua puluh tahun lebih ia kenal ternyata tidak pernah seperti yang ia pikir selama ini.

Ia sadar soal paradoks, namun tidak pernah terbayang bahwa segalanya begitu paradoks. Bahkan orang-orang yang ia percaya, bahkan dirinya sendiri.

Dan ya, ia mulai meragukan hidup. Ketika integritas adalah kelangkaan. Ketika melakukan hal baik malah diteriaki bodoh dan sok idealis.

Manusia itu aneh, pikirnya. Mereka selalu mencecar anak-anak dengan kata-kata agar mereka selalu berbuat baik dan jujur. Namun ketika mereka tumbuh menjadi anak yang jujur, malah diteriaki bodoh dan diajarkan menyeleweng. Apa maunya mereka?

Apakah sebenarnya hidup di dunia ini bukan soal menjadi baik dan jujur seperti yang mereka bilang sejak kita kanak-kanak? Apakah kata-kata mereka sebenarnya hanya ucapan tanpa makna namun kita menganggapnya terlalu serius?

Apakah sebenarnya hidup itu seperti bermain video games dan memakai cheat codes adalah kebutuhan si pemain? Tunggu...kebutuhan atau candu?

Tapi jika iya hidup seperti video games, bukan kah akan lebih bangga jika kita bisa menang tanpa kecurangan? Atau...tanpa kecurangan kita tak akan pernah menang?

Tapi, apakah hidup soal menang atau kalah?

Entahlah.

Ia mulai menghela napas, memelankan ketukan jari-jarinya pada tombol di papan ketik yang mulai mengusik rekan sebelah. Meletakkan kaca matanya sembarangan, menyender pada kursi.

Ke mana ia akan pulang hari ini?
Readmore → Menjelang Sore

Friday, February 2, 2018

Suatu Sore

Hari-harinya terasa begitu sepi belakangan. Entah kapan terakhir kali ia menerima telefon yang menanyakan kabar. Kalau ada yang menelfon, pasti urusan pekerjaan atau telemarketing asuransi. Ia baru sadar sudah lama tak mendengar omelan kalau ia terlambat makan atau mandi, atau ketika ia menghabiskan hari-hari di kamar saja. Ia rindu. 

Terduduk di teras kamar, tak acuh pandangannya pada anak-anak kompleks yang sedang bertanding futsal di lapangan kesayangan mereka. Riuh sorakan ketika gol memaksanya untuk sedikit menaruh perhatian untuk beberapa saat.

Kemudian ia kembali lagi pada lamunannya. Sudah berapa lama ia sesepi ini? Ia mulai menyangsingkan keberadaan kehidupan sosialnya. Adakah? Bukan salah siapa-siapa, karena memang dialah yang tak berusaha membuat lingkaran baru.

Jika ia hilang hari ini, akankah ada yang sadar bahwa sesuatu terjadi padanya di hari yang sama?

Readmore → Suatu Sore