Sunday, December 29, 2019

2019: Sekali Menjadi Mahasiswa

2019 adalah tahun yang unik karena beberapa hal baru yang cukup signifikan terjadi di tahun ini. Mulai dari jalan-jalan ke Oman, magang di start-up, dan akhirnya berangkat ke Sydney untuk kuliah S2. Oh ya, 2019 saya masih suka menang giveaway! Sekali di awal tahun, voucher belanja dari Sensatia Botanicals. Kemudian sekali lagi di akhir tahun, give away hari ibu dari The Body Shop Indonesia hahahahah. Keberuntungan saya masih berlaku!!
Quadrangle, taken during my first weeks of T3 in UNSW
Highlight utamanya tentu saja pada bagian sekali lagi menjadi mahasiswa dan kali ini di luar negeri. Bagi saya, hal ini kadang masih terasa tidak nyata. Tidak pernah terbayangkan kalau saya akan kuliah S2 secepat ini, di luar negeri pula. Ah, gila sekali. Tapi sejujurnya lebih gila lagi perjuangan bertahan melewati trimester akademik pertama saya di UNSW. Meskipun kami sudah dibekali dengan sangat cukup saat Pre-Departure Training, mengalami semuanya secara langsung tetap saja sensasinya berbeda. He he. Saya berencana menulis detail cara-cara bertahan melewati trimester akademik pertama sebagai mahasiswa S2 pada post terpisah nanti. 

Akhirnya setelah semua drama personal dan akademis juga ketakutan berlebihan akan kegagalan akademis, saya berhasil melewati trimester akademik pertama sebagai mahasiswa Master of Commerce! Cukup senang, sih, meskipun tidak terlalu bangga juga karena pencapaiannya juga biasa saja. Terutama karena setelah menyelesaikan ujian akhir, saya merasa seharusnya bisa mengusahakan lebih banyak untuk hasil yang lebih memuaskan. Tapi seperti kata Bapak dan Ibu saya, ini cukup bagus sebagai permulaan dan saya pun berjanji untuk lebih bekerja lebih keras pada trimester-trimester berikutnya. 

Dengan alasan di atas, salah satu resolusi 2020 saya adalah: 
1.  Lulus dengan outstanding, mengejar High Distinction pada minimum 4 dari 6 sisa mata kuliah, untuk menantang batas diri. 
Ini cukup beralasan karena tahun 2019 saya cukup santai, memang sih hasilnya cukup baik saja, tapi rasanya ada yang kurang saat sampai di penghujung. Kurang bergelora he he.

Tidak heran sih, lihat saja resolusi 2019 kemarin, sangat...tidak seru, tidak menantang.

"Karena 2019 adalah chapter baru hidup, saya berharap 
1. Keberangkatan ke AU bisa berjalan lancar -- alhamdulillah lancar meskipun drama. tapi kenapa saya menulis ini sebagai resolusi ya? Aneh
2. Menjadi master students yang aktif dan outstanding (learn a lot of new skills in programming, to be a communicative student, get a cool internship) -- I did an internship in Waste4Change -- before I started my study -- and that's cool! Tapi no programming skills earned yet and still not that communicative although my group members said that I'm friendly :))
3. Membuat banyak koneksi baru!! -- i made some good connection, but still not as many as I expected. But then, i started to understand that I'm an introvert ._.
4. Strawsellate bisa jalan sendiri -- nah, i closed it down. this is the hardest part of 2019!! Ditutup karena Strawsellate terlalu kecil untuk diurus orang lain dan saya sayang sekali seperti anak sendiri. Jadi tidak mau sembarang titip.
5. Nonton banyak konser! --> Disiplin secara finansial: mulai menabung. (Update 13/1/2019) -- cuma nonton Rich Brian di Sydney, sudah mulai menabung meskipun masih sedikit.
6. Ke NZ -- pindah jadi akhir tahun ini.
7. Laptop baru -- sebenarnya bingung kenapa nulis ini di resolusi, padahal kan memang sudah jelas-jelas direncanakan dalam daftar belanja. 
8. Membuat program yang bermanfaat untuk kampung -- hehe, belum"
Selain soal akademis, di tahun 2020 saya mesti kembali memikirkan persiapan karir. Jika semuanya lancar, Desember 2020 akan menjadi akhir perkuliahan saya. Setelah itu saya akan kembali ke Indonesia untuk bekerja--setidaknya ini yang saya pikirkan saat ini. Meskipun tidak menutup diri juga untuk kemungkinan bekerja di negara lain (jika ada). Untuk saat ini, saya masih fokus pada tawaran kembali ke perusahaan lama dan juga untuk menjadi dosen. Saya berharap bisa melakukan keduanya secara bersamaan. Apakah mungkin? Tidak tahu juga sih, belum ada ancang-ancang resmi he he. 

Dengan ini, resolusi karir 2020 saya adalah:
2.  Mendapatkan pekerjaan baru
3. Bekerja untuk perusahan/organisasi yang menghargai -- atau setidaknya tidak bertentangan -- dengan nilai-nilai pribadi saya.
4. Mendapat tawaran mengajar di kampus secara resmi.

Selanjutnya urusan senang senang. Tidak muluk-muluk, resolusi jalan-jalan 2020:
5. Mengunjungi pantai-pantai cantik di Sydney dan mengambil foto setiap pantai yang saya kunjungi. Akan dibuat kolasenya di akhir tahun 2020.
6. Mengunjungi pulau Tasmania.
7. Menghadiahi diri dengan liburan ke New Zealand setelah kelulusan.

Sepertinya itu saja sih resolusi 2020 saya. Saya berusaha untuk membuatnya se-achievable-yet-still challenging mungkin. Oh ya, resolusi tahunan ini memang rutin saya post setiap tahun sedari 2016 dan rasanya ini sangat membantu mengingat apa yang dilakukan sepanjang tahun yang lalu dan apa yang ingin dicapai selanjutnya. Iya, sebagai pengingat untuk tahun tahun berikutnya juga. 

Oh ya, kali ini saya juga tidak bercerita banyak soal tahun ini karena memang sebagian besar isinya soal kuliah lagi (dan sudah saya tulis beberapa post soal itu).

Selamat tahun baru 2020! Semoga kamu juga bersemangat menyambut 2020 ya :)
Readmore → 2019: Sekali Menjadi Mahasiswa

Wednesday, October 30, 2019

Minggu Ketujuh

Saya sedang duduk di salah satu bangku taman depan gedung E19. Minggu-minggu belakangan rasanya jauh membaik. Terutama urusan mood yang sekarang sudah tidak gloomy terus hehe. Oh ya, ini adalah minggu ketujuh perkuliahan. Dari 3 mata kuliah yang saya ambil pada term ini, 2 di antaranya sudah melewati tahap pengumpulan tugas individu dan satunya sudah UTS. 

Saya sempat khawatir sekali dengan UTS kemarin, takut tidak lulus. Bukan, bukan soal malu, tapi lebih kepada ketakutan kalau sampai gagal, gimana saya bayar biaya untuk ngulang? Hahaha, tentu saja ketakutan ini tidak beralasan. Saya datang ke student contact officer untuk menanyakan ini dan beliau bilang saya tidak perlu khawatir soal biaya, semua sudah diperhitungkan. Saat hasil UTS keluar, nyatanya juga nilai saya tidak buruk buruk amat, hehe. Ketakutan berlebihan dan panik tanpa alasan yang kuat adalah dua hal yang sampai saat ini masih jadi masalah. Tapi tidak apa sih, toh belakangan sudah lebih bisa mengendalikan diri dengan mendatangi orang yang tepat untuk diajak bicara soal masalah-masalah terkait. 

Kalau hasil essay pertama kemarin tidak heran juga nilainya 'hanya' segitu karena saya sudah berekspektasi dari awal juga berkaca dari essay sebelumnya saat IAP. Saya tahu betul dimana kelemahan tulisannya, tapi masih belum berhasil mengatasi. Salah satunya ya karena belakangan masih suka mengerjakan tugas di menit-menit terakhir. Yang satu ini susah sekali untuk dicari jalan keluar. 

Essay kedua.. belum tahu, tapi sepertinya akan 11 12 lah dengan yang pertama. Apakah kecewa? Tidak sama sekali. Sejujurnya pola pikir semenjak IAP cukup banyak berubah. Soal kuliah untuk apa dan tujuan yang mau dicapai apa, bukan lagi nilai tinggi. Lagi pula saya sadar kemampuan menulis dalam bahasa Inggris saya memang tidak sebagus itu. Pilihan kata terbatas, alur logisnya masih banyak lubang. Jadi yang saya lakukan belakangan ya sebisa mungkin memahami materi yang disampaikan di setiap sesi kuliah, meskipun ketika harus menulis untuk menjawab masalah pada essay, jawaban saya belum bisa tersampaikan dengan baik hehe. Iya, iya, terdengar denial

Selepas minggu kelima, kami mulai masuk dalam tugas kelompok. Nah, ini menarik sekali. Berkat tugas kelompok ini saya baru tahu bahwa masalah komunikasi karena beda latar belakang bahasa bisa menjadi masalah yang cukup menantang. Jadi ceritanya di semua kelompok saya, semua anggotanya berasal dari latar belakang pekerjaan, pendidikan, dan negara yang berbeda. Di salah satu kelompok tersebut isinya adalah saya, seorang dari Malaysia, seorang dari Cina, dan seorang dari India. Masing masing dari kami berbicara bahasa Inggris dengan aksen berbeda dan tidak jarang I lost in translation!!! Hahahahah. Teman India saya berbicara saaaangat cepat dan biasanya ngegas, jadi terdengar seperti marah marah terus. Teman yang dari Cina ini pelafalan katanya masih sangat chinese. Kemudian saya, sering kehilangan kata bahasa Inggris dan berhenti ditengah-tengah kalimat. Beruntung si teman Malaysia berhasil menengahi semua diskusi kami yang bisa dibilang cukup berantakan hahaha. Saya rasa sih ini bukan soal lafal dan logat saja, tapi juga soal budaya kami yang berbeda dalam menyampaikan sesuatu sehingga ketika berbicara bahasa Inggris, yang kami tangkap pun tidak sama. Sempat saya ribut karena hanya karena salah paham maksud satu pertanyaan yang diajukan. Saya ngotot dengan jawaban saya, dia ngotot itu bukan jawabannya. Untungnya ya ditengahi orang Malaysia tadi. HAHAHA akhirnya saya paham pertanyaan dan jawaban ini tidak singkron.

Belum lagi dengan dua grup yang lain nanti... we'll see

Apa lagi ya..

Tidak sabar untuk segera sampai di minggu kesepuluh, mengakhiri term pertama saya di UNSW kemudian liburan musim panas!
Readmore → Minggu Ketujuh

Monday, October 7, 2019

Belum Tidur

Saya belum bisa tidur. Sudah pukul 01.53 pagi waktu Sydney. Harusnya sudah tidur dari tadi karena besok ada banyak rencana. Pergi ke pusat kota, pekerjaan pekerjaan rumah, hingga tugas tugas kuliah.

Ini minggu kesepuluh saya di Kingsford. Sudah selesai Introductory Academic Program, sudah masuk minggu ke-4 perkuliahan, sudah submit tugas pertama yang diketik dengan susah payah karena motivasinya susah sekali terkumpul, sudah tidak dingin lagi di sini, sudah ke Auburn jadi ralawan konservasi, tapi masih kadang sedih karena beberapa hal yang sama. hehe.

Setiap kali orang bilang,"udahlah, banyak yang lain, kok." Jawaban saya masih konsisten, "waktu kalian dulu selesai memangnya langsung bisa lupa? kan saya baru dua bulan." Begitu kira-kira pembelaan saya. hehe.

Hari ini memutuskan menulis karena rasanya butuh bercerita tapi harus diakui kalau umur 25 itu teman teman di sekitar kita juga sedang susah susahnya dengan masalah masing masing. Jadi rasanya tidak adil saja kalau saya merengek minta didengarkan dan di-"puk-puk"

Oh ya, saya akhir pekan kemarin saya melakukan beberapa hal kecil yang ternyata bikin punya arah baru! Ada dua hal sebenarnya. Pertama, mulai mengirim kode kepada dosen saya di kampus lama untuk bisa diajak mengajar. hehe. 

Sebenarnya ini benar-benar tidak direncanakan sih. Jadi Jumat kemarin dosen di salah satu mata kuliah saya mengingatkan tentang pentingnya online presence bukan hanya di linkedin, tapi juga di sosial media lainnya. Beliau bilang soal biarkan orang tahu tentang dirimu sebatas yang kamu rasa nyaman dengan itu. Misalnya kalau kamu suka kucing ya, gak masalah kamu post foto kucing dan suka bahas kucing di instagram atau twittermu. (iya, ini mungkin hal yang semua orang tahu. tapi saya beberapa waktu belakangan cukup tertutup di media sosial karena takut orang lain--yang tidak saya kenal--tahu sisi lain diri saya). Kemudian di sesi tutorial, tutornya mengemukakan kalau sebenarnya komunikasi itu lebih mudah ketika kamu mengenal dirimu sebagaimana juga orang lain mengenal kamu. Authenticity. Gak ada yang salah dengan itu, bahkan di banyak kasus malah membantu.

Kemudian malamnya, entah karena angin apa, saya mengirim pesan pada rekan kerja di tempat lama. Kami tidak terhubung di instagram, tapi saya kirim direct message lewat instagram. Dia bilang, "kamu bener di australia kan dwika?" Kalimat itu membuat saya berpikir lagi, sepertinya ada yang salah ya dengan branding saya hahaha. Saya putuskan untuk upload 1 foto di feed dengan caption seadanya dengan tujuan mau mengabarkan saja kalau saya sudah di sini. naif sekali haha.

Foto tanpa intensi lebih ini ternyata menjadi tempat bagi saya dan ibu dosen di tempat lama untuk menyapa dan berbincang. Siapa sangka setelah beberapa minggu lalu saya berucap "gimana ya caranya ngode biar diajak ngajar?" ke seorang teman dekat, tiba tiba yang beliau yang muncul duluan!! Ajaib sekali.

Saya memang berencana mengajar di kampus lama sejak beberapa minggu belakangan. Tujuan hidup seperti diacak-acak. Belakangan saya bermimpi untuk menjadi pengajar paruh waktu dan tetap bekerja sebagai mba mba pabrik untuk beberapa waktu (sekalian menghabiskan sisa kontrak).

Kedua, mengirim lamaran magang ke perusahaan event untuk musim panas nanti. Saya juga sedikit bingung kenapa doyan sekali magang. Sebelum berangkat kemarin magang di Waste4Change lah, ini sekarang liburan musim panas 2 bulan juga mau dibuat magang. Tapi bukan tanpa sebab kok! Saya memang berniat belajar soal event karena mau bikin sendiri satu hari nanti, setelah lulus kuliah, mungkin. 

Sempat terpikir juga untuk tetap tinggal di Sydney selama musim panas jadi casual worker. Lumayan untuk tambah-tambah jajan. Tapi...karena saya ternyata juga oportunis, pikirannya berubah menjadi "mumpung ada kesempatan dan safety net, kenapa tidak mengerjakan hal yang kamu suka dan memang ingin coba?"

Tapi sebenarnya sih harapannya agak tipis. Saya tidak terlalu yakin email-email itu akan dibalas. Apalagi dengan kondisi tidak punya portofolio kreatif. Tapi siapa tahu? Ya, kan? Setidaknya sudah mencoba. Mana tahu saya beruntung dan Sarah Deshita mau berbaik hati membolehkan saya magang di Ismaya Live. Amin!

Ceritanya itu saja sih. Saya jadi lebih semangat buat cepat-cepat menyelesaikan kuliah sekarang. Cepat lulus, pulang dan mengejar semua hal hal menyenangkan.

Oh ya, daylight saving time sudah dimulai sejak kemarin pagi. Jam di sini jadi lebih cepat 1 jam. Beda waktu Jakarta-Sydney jadi 4 jam. Menyebalkan sekali. Waktu adalah fana teman teman!! hahaha

Selamat istirahat semua. 

Kingsford, 7 Oct 2019 02.32


Readmore → Belum Tidur

Friday, August 23, 2019

Dua Minggu di Kingsford

Ini akan menjadi tulisan yang sangat acak. Ngalor-ngidul. Kemana-mana. Saya tidak yakin apa tujuan kali ini sebenarnya. Mungkin hanya sebagai pengingat tentang perasaan yang saya alami pada dua minggu pertama di Kingsford, NSW.

Tidak banyak hal yang terjadi dua minggu ini meskipun banyak hal-hal baru yang saya lihat dan coba. Mulai dari naik bus sendirian, salah naik bus sampai nyasar di malam sedingin 12 derajat dan sepi, minum langsung dari keran, kedinginan subuh-subuh, hingga semua makanan di kampus yang porsinya adalah 2-3 kali porsi normal saya.

Di titik ini, ada banyak sekali potongan pikiran di kepala. Namun sayang, semua enggan saya elaborasi lebih lanjut. Pikiran-pikiran yang sering muncul belakangan ini:

1. Some things are better left unspoken
Hal ini berlaku untuk banyak hal. Mulai dari perasaan-perasaan mengganjal yang bikin sesak kalau dibahas, hingga curhatan-curahatan remeh yang sangat menghabiskan waktu dan tidak produktif. Pada akhirnya untuk hal seperti ini lebih baik ditinggal saja jauh jauh dalam hati, disumpal dengan lagu-lagu dari playlist pilihan spotify sambil duduk memandang keluar jendela bus. Dibicarakan atau tidak, tetap tidak ada solusinya. Meskipun saya adalah pendengar setia lagu Utarakan - Banda Neira, saya juga adalah penganut paham some things are better left unspoken sejak kuliah. hehe.


2. Saya kurang mengapresiasi musisi dan penulis novel kesukaan
Waktu-waktu di sini banyak dihabiskan sambil memutar playlist lagu-lagu yang sedari dulu saya suka maupun lagu yang baru saya dengar lagi dan kagumi belakangan. Banyak lagu yang para penciptanya buat berhasil membawa saya berpindah dari suasana hati yang kacau menjadi lebih tenang. Beberapa yang lain menemani sedih agar semakin dihayati. Ada juga menemani saya hingga tertidur atau sekadar didengarkan sembari berjalan menyusuri tangga dari ruang-ruang kelas hingga rumah. Lagu-lagu yang mereka ciptakan sangat berpengaruh dalam hari-hari saya. 

Rasanya sangat tidak adil jika saya hanya mendapat manfaat saja. Apa yang sudah saya lakukan sebagai balasan? Tidak banyak. Barang satu dua album yang dibeli dulu. Beberapa tiket konser yang bisa saya tebus. Selebihnya hanya mendengarkan rilisan digital mereka. Saya merasa bersalah. Karya mereka sangat bermakna tapi saya hanya mendengar. Saya merasa kurang menghargai proses kreatif mereka. Tahun-tahun dan hari hari yang mereka habiskan hingga berhasil keluar dengan lagu yang membuat saya memikirkan ulang berbagai hal. 

Begitu juga dengan buku buku yang mengubah pandangan hidup! Saya yakin sekali hanya orang-orang jenius yang mampu menghasilkan karya yang begitu kuat untuk pembaca/pendengarnya. Aneh sekali selama ini hanya berfokus pada karya mereka, tanpa pernah benar benar mencoba mengapresiasi mereka sebagai pembuatnya. Berapa gelas kopi yang mereka teguk untuk lembar lembar itu? Berapa juta kali mereka merasa gagal dan ingin berhenti? Seandainya mereka berhenti... untungnya tidak. 

3. 
(to be continued)
Readmore → Dua Minggu di Kingsford

Thursday, August 15, 2019

Dua Puluh Lima

Setahun lalu menulis Dua Puluh Empat sambil setengah menangis di Duta Bumi, Bekasi. Malam ini Dua Puluh Lima ditulis dari Kingsford, NSW. Kali ini tidak menangis, walaupun tadi juga sempat terbawa suasana melankolis karena entah kenapa, bagi saya, pergantian umur menjadi titik yang cukup sedih. Pikiran-pikiran soal hal-hal yang tidak berlaku sesuai harapan selalu datang di tanggal ini. 

Mungkin sebenarnya sih sekarang mengetik tanpa menangis juga karena baru saja menyempatkan mandi air hangat. Jadi sedihnya sudah hanyut bersama air sabun dan bilasan hehe.

Sebenarnya juga tadi sempat bicara di telepon, menangis sedikit, tanpa terdengar menangis, berusaha mengalihkan pembicaraan dan dengan nada baik baik saja.

Terlihat dan terdengar baik baik saja adalah hal yang beberapa waktu terakhir menjadi pilihan saya.

Dua Puluh Empat saya memilih diam dan ujungnya meledak.

Dua Puluh Lima, saya memilih menerima keadaan dan bersikap baik baik saja. Masih menangis, tapi sudah sangat mendorong ledakan agar tidak dekat-dekat.

Jika harus diberi tag, Dua Puluh Lima adalah Pengalihan.

Mengalihkan pikiran sedih pada hal lain agar tidak berlarut. Mengalihkan pembicaraan dari topik-topik yang bikin sesak hati. Mencoba memikirkan hal mendesak seperti bagaimana agar lulus kuliah di akhir 2020 dengan nilai bagus dan pekerjaan baru (atau mungkin usaha baru?).

Walaupun sebenarnya susah juga. Seringnya lebih banyak waktu dikonsumsi untuk menganalisis kejadian yang sama berkali-kali, berharap mendapat petunjuk baru. Walaupun sebelah hati sudah merelakan sepenuhnya. 

Dua Puluh Lima. Seperempat abad.

Kalaupun hidup bisa ditebak, persiapan matang pun kadang tidak cukup untuk menghadapi apa yang akan datang. 

Semoga tahun depan saya menulis Dua Puluh Enam dengan tawa dan suka cita.

Lebih penting lagi, semoga masih ada umur dan sehat untuk menulis Dua Puluh Enam.


Kingsford, 15 Agustus 2019 23.45
Readmore → Dua Puluh Lima

Monday, August 12, 2019

Tanpa Judul

Patah hati memang selalu sedih, tapi jadi lebih sedih lagi ketika waktunya tepat semalam sebelum keberangkatan ke benua seberang. Sebenarnya hari itu rasanya tidak nyata, jadi bingung juga untuk menangis kencang kencang. Cuma sedikit. Kemudian mencoba kembali kepada kenyataan untuk harus bersiap siap berangkat. Memasang muka baik baik saja biar semua tenang. Dan berhasil.

Kingsford Smith Airport cukup dingin pagi itu, tapi masih tertahankan meskipun hanya pakai hoodie biasa. Semua yang harus dilakukan hari itu juga terselesaikan. Mengurus ketibaan, pergi ke bank, dan segala hal soal perkampusan. Kemudian pulang ke kamar sewaan di seberang universitas.

Melewati satu hari dengan baik rupanya tidak semerta-merta berarti perasaan sudah baik baik saja. Kombinasi adaptasi di lingkungan asing dengan bahasa yang berbeda dan perkara patah hati, harus diakui ini menyebalkan. Malas keluar kamar, malas bertemu manusia lain. Pergi hanya seperlunya, jika harus inspeksi kamar lain. Selebihnya bersembunyi di balik dua lapis selimut untuk mengakali dinginnya Kingsford yang kadang sampai 10 derajat rasa 7 derajat di malam hari.

Kupikir aku sudah baik baik saja hari ini. Tapi rasanya tetap aneh. Argh.
---

tiga belas dua delapan.
sebenarnya hari ini lebih hangat dari beberapa hari sebelumnya. jalanan di kingsford tetap saja sepi. hanya mobil-mobil yang ramai parkir di bahu jalan. tempat ini tidak terlihat seperti kota besar, apalagi hiruk pikuk seperti Jakarta.

namun lain di kampus, ramai orang lalu lalang. rasanya sedikit aneh bahwa lebih banyak mahasiswa cina dan mereka bercakap dengan bahasa cina di sepanjang jalan dan sudut-sudut kampus. benar ini sydney?

bahkan penunggu lantai atas kamar yang saya sewa pun dua orang cina. eh, atau korea?

duduk di serambi kampus ternyata cukup menenangkan. melihat orang lalu lalang, memperhatikan mereka yang berbaring di hijau rumput quadrangle untuk menyerap panas matahari.

angin baru saja berhembus lagi, begitu juga dengan dingin yang sekarang menangkap telapak tangan saya. tapi tetap harus disyukuri bahwa angin tidak segalak kemarin. hari ini dia lebih tenang. mungkin ia paham.


Readmore → Tanpa Judul

Wednesday, August 7, 2019

Google Webmaster Conference Bali 2019

"Seberapa sering sih kalian buka Google?"


Pertanyaan ini dilontarkan oleh Aldrich saat membuka Google Webmaster Conference Bali di Hotel Grand Mega Resort, Selasa, 6 Agustus 2019 kemarin. Saya jadi berpikir kalau setiap hari begitu bergantung dengan Google sejak baru bangun hingga sebelum tidur. Dari mencari lokasi money changer terdekat hingga nomor telepon pemadam kebakaran terdekat saat gudang kayu tetangga kami hangus beberapa minggu lalu. 

Ada berapa banyak yang juga seperti saya? Dalam presentasi pagi itu disebutkan bahwa dari 143 juta pengguna internet di Indonesia, 74% menggunakan Google Search! Awalnya, saya yang awam ini berpikir bahwa angka tersebut ya hanya angka yang besar saja, titik. Namun dari #wmcbali ini saya baru sadar bahwa angka tersebut juga berarti peluang bisnis yang sangat besar sampai-sampai Google membuat acara ini.
Sesi Diskusi Panel Google Webmaster Conference Bali 2019
Sesi Diskusi Panel #wmcbali
Webmaster Conference adalah kumpulan pemilik situs web, webmaster, dan pengembang web di Indonesia. Berinteraksi dengan praktisi SEO dan mendengar update terbaru dan web optimasi praktik terbaik dari tim Google Search. - sumber
Too much information? Hold on a second.

Jadi kemarin saya ikut #wmcbali ya sesimpel karena melihat tweet Google Indonesia.


Jujur saya, saya tidak tahu apa itu webmaster apalagi SEO. Cuma ya, karena sedang senggang, jadi saya pikir tidak ada salahnya untuk mendaftar. Eh, ternyata pendaftarannya dikonfirmasi meskipun pada kolom isian saya menulis bahwa saya newbie dan hanya ingin datang untuk melihat-lihat.

Singkatnya, dalam acara ini tim Google Search memberikan informasi mengenai update terbaru Google seperti bagaimana cara kerja Google Search saat ini sehingga para pemilik/pengembang web dapat memaksimalkan eksistensi website mereka. Hal ini sangat berguna misalnya bagi para agensi online marketing atau pengelola situs web hotel/tour di Bali.

Lalu bagaimana untuk saya yang hanya menulis blog galau dan tidak tahu apa apa soal optimasi web ini?

Meskipun banyak sekali hal teknis yang tidak saya pahami, acara ini insightful sekali. Mereka menjelaskan bagaimana cara kerja mesin pencari Google yaitu dari crawling (merangkak dari satu laman/link ke laman/link lain), kemudian indexing (hal-hal yang ditemukan dan relevan dengan pencarian kita), hingga akhirnya menampilakan informasi yang berguna untuk kita. Saat melakukan pencarian, Google bot sangat bergantung pada text yang ada pada laman tersebut. Jika kita ingin berada di laman pertama hasil pencarian (yang berarti lebih besar kemungkinan di-klik oleh pengguna dan berarti pemasukan untuk adsense atau kemungkinan konversi menjadi transaksi dan sebagainya), banyak sekali hal yang harus diperhatikan!

1. Konten, Konten, dan Konten
Apa yang mau ditampilkan kalau tidak ada konten? Itu yang pertama sih. Tim Google Search juga menjelaskan bahwa sebaiknya konten dibuat se-berguna mungkin untuk pengguna. Untuk kata kunci yang digunakan juga tidak usah lebay karena sekarang google bot sudah dapat mengenali sinonim kata. Pasti pernah kan tidak sengaja masuk ke web dengan kata kata sinonimnya diulang berkali-kali? Nah, kata kunci tersebut juga tidak usah diulang sejuta kali. Sebaiknya tulisan/konten dibuat ya senatural mungkin. Selain itu, panjang/pendek artikel juga tidak berpengaruh. 

Kita juga bisa menganalisis kata kunci apa sih yang banyak digunakan sebelum masuk ke laman kita melalui Google Search Console. Jadi kita bisa mengembangkan tulisan dengan queries seperti contoh di bawah ini.

contoh tampilan queries google search console
Tampilan Queries Google Search Console
Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan yaitu deskripsi dari post kita karena itu akan mementukan apakah user akan meng-klik laman kita atau tidak dan juga memudahkan mesin pencari untuk mengetahui keberadaan laman kita. Ini yang saya belum paham, bagaimana menuliskan metadata deskripsi. Hehehehe.

2. Optimasi Gambar dan Video
Ternyata, gambar dan video bisa diberi tag/caption dan metadata deskripsi untuk memudahkan mesin pencari mengenalinya. Untuk kamu yang punya banyak gambar berguna dan ingin dimunculkan mesin pencari, ada baiknya memberikan 'penanda' pada gambar kamu mulai dari caption, metadata, hingga judul filenya dengan deskripsi yang detail namun ringkas. Misalnya kamu punya foto nasi goreng ati ampela, google search gak akan tahu itu nasi goreng ayam atau pete atau ati ampela kecuali kamu tulis. Hal yang sama juga berlaku untuk video.

3. Kecepatan Web
Berhubung ini cukup teknikal, yang saya tangkap agak terbatas. Intinya, google search akan merekomendasikan situs web dengan kecepatan yang tinggi (parameternya berapa? saya lupa angkanya). Pemilik web harus memastikan waktu yang diperlukan user untuk masuk ke laman webnya cukup singkat dengan memperhatikan berat html, javascript, css, font, gambar dan sejenisnya. Ada satu tools yang kemarin ditunjukan untuk mensimulasikan kecepatan web berdasarkan budget berat laman. Tapi lagi lagi saya lupa. Maaf yaaaa huhu

4. Keamanan Web
Keamanan web juga menjadi salah satu faktor rekomendasi google untuk laman web. Jadi diharapkan pemilik web mulai migrasi ke https untuk keamanan. Selain itu, untuk situs statis seperti company profil juga ada baiknya pindah ke https untuk meningkatkan citra. Jujur, saya juga belum paham gimana caranya migrate. Will do learn dan migrate this site soon!

Not Secure
5. Link
Sama seperti menulis essay, orang tidak akan percaya kalau kita tidak merujuk sumber dengan otoritas yang lebih tinggi. Jadi kalau kita menulis artikel ada baiknya juga menampilkan sumber yang dikutip atau dirujuk dengan menyertakan linknya. Google juga bekerja dengan menyururi satu link ke link lain. Jadi, kalau link kita tersambung ke otoritas link yang lebih tinggi makan kemungkinan untuk naik peringkat juga lebih besar.
Duh, waktu sesi ini saya sudah lumayan tidak konsentrasi jadi nangkepnya segini aja.

6. Knowledge Box
Jika namamu/bisnismu cukup sering dicari di google dan informasi yang tersedia cukup banyak, kamu akan punya knowledge panel seperti ini di laman pencarian google. Jika sudah punya, kita bisa claim dan mulai posting/edit isi dalam post. Ini akan berguna sekali terutama untuk bisnis karena bisa meningkatkan citra brand dan juga bisa lebih mengoptimalkan pencarian di google.
Knowledge Panel Baskara Putra
Kurang lebih sekian yang saya pelajari dari #wmcbali kemarin. Tapi di luar itu, karena melihat Ci Rika dan Aldrich (dan juga Pak Alex pada masa magang saya di W4C) yang merupakan penutur aktif bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, saya jadi berpikir kalau sebenarnya besar sekali potensi kita sebagai orang Indonesia. Indonesia adalah pasar yang sangat besar, kita sebagai orang Indonesia tahu persis pasar kita seperti apa. Akan menguntungkan sekali kalau kita bisa memanfaatkan ini dengan baik, dengan apa yang kita tahu dari dunia luar juga, seperti Google misalnya. Tiba tiba saya mengurungkan mimpi untuk tinggal di New York hahahah.

Oh ya, untuk yang ingin juga datang ke Webmaster Conference Google di Jakarta bulan November nanti, bisa daftar di sini: https://events.withgoogle.com/wmcjakarta/

Semoga tulisan ini bermanfaat! :)

topi goodiebag google webmaster conference bali
Topi dari #wmcbali

Readmore → Google Webmaster Conference Bali 2019

Wednesday, July 24, 2019

Ular Tangga

Belakangan gue jadi mikir, hubungan sama seseorang itu mirip main ular tangga. Kita lempar dadu, maju, kadang nemu tangga yang ngebawa kita jadi jauhhhh lebih deket karena satu kesempatan. Kadang juga ketemu ularnya yang bikin hubungan merosot lagi padahal tadinya udah jauh banget.

Jadi gak bisa dilihat dari udah berapa lama pacarannya. Toh kita ngga pernah tahu, tahunan yang mereka lewati ternyata berkali kali juga ketemu ular yang bawa mereka ke awal terus. Sampai mungkin mereka cape, dan akhirnya berhenti main ular tangga.
Readmore → Ular Tangga

Tuesday, July 2, 2019

Instruksi Gubernur Bali No 1545 Tidak Seharusnya Diterbitkan

Beberapa waktu lalu, 14 Juni 2019, Gubernur Bali mengeluarkan Instruksi Gubernur No 1545 Tahun 2019 tentang Sosialisasi Program Keluarga Berencana (KB) Krama Bali. Isinya adalah sebagai berikut:

Namun sayang sekali, file aslinya tidak tersedia di laman resmi pemerintah provinsi Bali (http://jdih.baliprov.go.id/produk-hukum/peraturan?cat=45). Mungkin adminnya sangat sibuk.

Gubernur Bali menginstruksikan pelaksanaan program KB Krama Bali yaitu keluarga dengan 4 anak atas dasar "untuk melestarikan warisan leluhur kita". Kata-kata dalam tanda petik tersebut dikutip langsung dari pernyataan Gubernur Bali yang dapat dibaca lebih lanjut pada laman berita ini. Saya membaca beberapa artikel di media berbeda tentang instruksi gubernur (ingub) ini namun tidak mendapatkan alasan kuat kenapa label nama 'Komang' dan 'Ketut' ini menjadi begitu penting bagi Pemda Bali sehingga ibu ibu dari keluarga bali sebaiknya melahirkan 4 orang anak dan bukannya 2 orang saja sesuai dengan program KB Nasional. Dalam artikel tersebut, hal yang diutarakan para pejabat pemda ini adalah sebagai berikut:
  1. Label nama 'Komang' dan 'Ketut' hampir punah.
  2. Jumlah krama Bali mengalami stagnasi --> mengkhawatirkan untuk pariwisata karena wisata Bali bergantung pada budaya krama Bali (Kepala Disdukcapil Bali)
  3. Akan ada bantuan modal untuk peserta program KB Krama Bali (Kabid Fasilitasi KB Dukcapil Bali)
Saya benar-benar tidak mengerti apa relevansi kepunahan label nama tersebut. Apakah Bali akan kehilangan esensi budayanya ketika dua label nama tersebut berkurang? Apakah urgensi pelestarian dua label nama tersebut?

Jika kita kembali pada penjelasan-penjelasan pejabat di atas, sama sekali tidak ada alasan yang mendasar. Alasan mengenai kebergantungan pariwisata Bali terhadap pelaku budanyanya memang betul bisa diterima akal, akan tetapi, apakah dengan melipatgandakan jumlah anak akan serta-merta melestarikan budaya tersebut? Terlebih lagi, apakah kepentingan program ini sebatas untuk mempertahankan agar Bali bisa tetap hidup dari jualan tiket untuk menonton upacara adat? 

Jikapun ini adalah lagi lagi produk kebijakan populis untuk mencuri perhatian rakyat, saya rasa ini menyebalkan sekali. Pemda akan mengalokasikan sejumlah anggaran biaya untuk pelaksanaan program yang tidak jelas arah manfaatnya untuk Bali. Ingub ini bisa jadi hanya digunakan sebagai pendongkrak popularitas awal masa jabatan saja. Sebagai pembayar pajak, saya sangat keberatan.

Di sisi lain, Bali sesungguhnya tidak dalam kondisi darurat tingkat kelahiran. Menurut data BPS dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, Angka Kelahiran Total (TFR) pada tahun 2010 yaitu 2.1 yang berarti ada sejumlah 2-3 anak lahir dari seorang perempuan usia 15-49 tahun selama masa suburnya. Angka ini diprakirakan akan menurun hingga 1.73 pada tahun 2035 atau kelahiran 1-2 orang anak. Dalam artikel tersebut, entah kenapa pejabat pemda itu malah menargetkan untuk menaikkan TFR ke angka 3 di tahun 2020. padahal panduan intepretasi BPS di laman Sirusa adalah sebagai berikut.
TFR yang tinggi merupakan cerminan rata-rata usia kawin yang rendah, tingkat pendidikan rendah terutama wanitanya dan tingkat sosial ekonomi rendah (tingkat kemiskinan tinggi). - intepretasi dalam sirusa BPS 
Betul, saya memang bukan pakar ilmu statistik kependudukan, tapi melihat angka angka dan penjelasan tersebut, saya jadi bingung sendiri soal arah kebijakan ini.

Selanjutnya, apa yang sedang diusahakan negara negara berkembang seperti Indonesia di seluruh dunia adalah menekan laju pertumbuhan penduduk untuk dapat meningkatkan kualitas hidup. Salah satu pejabat tersebut mengemukakan bahwa hanya dengan berjualan canang (sesajen), sebuah keluarga dengan 4-6 anak dapat bertahan hidup. Namun, bagaimanakah kualitas hidup mereka saat itu? Dengan menekan laju pertumbuhan penduduk, keluarga dapat lebih fokus dalam membesarkan anak anak mereka. Kita tidak bisa tutup mata dengan kenyataan bahwa perubahan iklim dan ketahanan pangan menjadi isu besar dunia saat ini. Kenapa di pulau kecil ini kita begitu egois ingin menggandakan jumlah anak ketika seluruh dunia berusaha menekan lajunya?

Belum lagi kalau kita bicara soal penduduk Bali yang kini sudah sangat beragam suku pendatangnya. Ingub ini hanya menunjukan betapa inginnya kita menunjukan superioritas atas suku sendiri saja.

Sebagai penutup, paparan dalam video ini rasanya akan sangat membuka pikiran kita kenapa ingub ini tidak seharusnya diterbitkan.


Readmore → Instruksi Gubernur Bali No 1545 Tidak Seharusnya Diterbitkan

Saturday, June 29, 2019

Internship in Waste4Change: A Whole New Working (and Learning) Experience

I didn't have a proper short-term plan after I received my scholarship, I know. I will talk about this later in a separate post. Now, let's talk about my internship in a startup company which I did simply because I didn't know what to do after AAS Pre-Departure Training. It's my last 2 weeks now. Surprisingly, this internship has given me a lot, beyond my expectation. 

Waste4Change is a startup company focusing in waste management. They provide a range of services from company/office waste collection, event waste management, waste-related-CSR execution, to waste related studies. Some of their clients are The Body Shop (Bring Back Our Bottle program), Gojek, DBS, Bank Mandiri, BLP Beauty, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, and so many more.

I've known this company for quite long time but it was only some time ago that I followed their instagram from my online shop account. Yes! It is now related. My concern in plastic thingy was triggered by Natgeo magazine "Planet or Plastic?" edition which made me open my stainless straw online shop in instagram where I follow some eco-conscious accounts including Waste4Change. One day when I was looking for an internship, they posted the opening for some internship positions. I directly sent my application for Strategic Service Intern and here I am now.

My first day was a little bit confusing. I used to work in a manufacturing company which working time is very rigid. My previous plant, like most factories, has siren to indicate work time, break and off time while in Waste4Change my working time is literally flexible. I only need to meet my bosses couple times a week only if they need to see me. 

Back to the first day, they took us (me and Dhani, the other intern) to Waste4Change facilities. Those are the Material Recovery Facility and Composting Facility. Adin and Adhit (my bosses) explained more detail about what the company do and how they do it. In that facility, Waste4Change re-sorted the materials from their clients' offices. I noticed that the sorting was very detail, not only they sort it based on type of the materials but they also group it based on its colour! I saw the cups of coffee for Nescafe Dolce Gusto were stacked based on their colour. Some workers also sorted plastic waste from buckets of still-mixed-waste. Adin explained that sorting is crucial to ensure that only the residue goes to the landfill while other recoverable materials can go through further cycle such as recycling or composting so they can achieve circular economy.
Waste Sorting in W4C's Facility
After the tour, we started to work in a coffee shop. I didn't know that I can really work in a coffee shop because when I was in uni I always failed in doing my assignments in a coffee shop. Too many distraction. But now I CAN! Wow. At the end of the day, we met the almost full Strategic Service team. Here, once again I was very surprised that the team members can be so open in talking about the obstacles they faced on their projects and how each member responses in helping the other. Really. This team is so fluid and dynamic. I am amazed. Maybe this is because most of the members are so young that they can be so open while in my previous team it was only me and Mba Nidya. So, ya, different culture due to age difference. Hehe.

At the end of my first day, I questioned if the remote working could really work. Well, after two and half months experience, I think this method is a very convenient working method! Thanks to all those online editable documents in onedrive and google drive, whatsapp and skype. Currently I even working from my village in Bali because I no longer stayed in Jakarta. Yes! They allow me to do a fully remote job. Awesome!!
Andhani, Adin, Dwika, Adhit
During my internship, I have a full access to their project reports because my job includes making summary of the reports hehe. The good thing is that I gain a lot of new knowledge and information about waste management all around the country. From the report I just knew that a FMCG company has a real concern about their packaging waste so they conducted a values chain analysis. I also read the reports about efforts in building 3R Disposal Site all around Indonesia. I also ar noticed that some companies did the waste-management thingy just for ceremonial purposes. 

This insights have shifted my perspective about waste. Waste is not always bad, waste is not always the one to blame. Let me tell you a story..

I was so lucky that Adin let me join her project about a feasibility study for a Pyrolysis plant development in one of the provinces in Indonesia. The owner of the project is an international packaging company, they hire a consultant which choose us as their local partner. My job in this short phase of the project was to arrange meetings with the local government. I have to contacted several agencies and even the staff of the vice governor. At the beginning, based on the limited explanation and ppt of that consultant, I thought that this Pyrolisis technology is the key solution for all plastic waste thingy. But later, i read and read again while carefully listening to their presentation to the government agencies and the vice governor. I changed my mind. Yes, pyrolysis might seem promising in tackling the multilayer plastic issue (such as sachet which is usually leaked to the environment while plastic bottle and cup are already have their own recycling market), but based on what I read, it is not economically feasible now. However, the project owner seems to be very ambitious in putting this project into reality. I suddenly think that this might be just the strategy and ego of the project owner because they are the company that produce those packaging. If they can successfully deliver this project as a CSR, they will be able to sell the story to convince the market that actually their plastic is not a problem. That the plastic can be turned back into oil. However, in general, this is not economically feasible. The technology can be very expensive and the dream of solving plastic problem will be just a dream. Do you see what I mean? The project in that province MIGHT be successful because it is fully funded, but in the larger scale, will the other government able to afford that? At the end, the company will be benefited because they can put the image that the problem caused by their product can be tackled while actually the waste problem never really solved.

From the business perspective, I do aware that the company need to do efforts in order to sustain their products. Today, people are more concern about what they consume, therefore this company need to reshape their value that align with customers concern. They innovate using this CSR strategy which in one side is brilliant. They can show their concern of nature while maintaining production and profit. However, is this sustainable? This is the big question that WE must find the solutions.

This project made me really think. What is the ideal solution to this mess that can be beneficial for all parties? What do you think?
Readmore → Internship in Waste4Change: A Whole New Working (and Learning) Experience

Friday, June 14, 2019

A Note To Myself in The Past: Try More Things

Underestimating myself when I was in school and uni, then I found out that I can do beyond.

I wasn't confident for my ability in doing so many things like designing posters, winning a competition and so on. At the end, I didn't try any, I didn't know if I was good enough.

The thought of "I wouldn't win that or I'm not capable of producing that" is a real toxic back then. So, I stayed in my comfort zone. My productivity fell to the lowest point.

Until I was pushed to a position where I have to do those things. I did. I finished my essay with great feedback. I got a nice prize for my poster.

I also made several captions and visuals for my community's Instagram account. I know maybe it is not good enough if we're talking about real campaign/publication. But still, I let people see what I've made. I'm no longer ashamed of my work. I'm helping not only my community's campaign, but also myself in self acceptance and confidence.

If i could turn back time, i wish i could try more things during that time. I shouldn't be worried of those silly thoughts.

Why didn't I do it since uni? Sayang sekali. But it's not too late, right?


Readmore → A Note To Myself in The Past: Try More Things

Tuesday, June 4, 2019

Mengunjungi Kakak ke Jabal Akhdar (Bagian Pertama)

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa saya akan ke Timur Tengah, untuk alasan apapun. Timur Tengah, apalagi Oman, bagi saya adalah negeri di entah berantah, hanya ada pasir (dan minyak). Tahunya orang ke Timur Tengah ya ke Arab Saudi untuk Haji, atau Dubai tempat orang orang transit, atau negara-negara yang sering muncul di berita karena peperangan seperti Iran dan Irak.

Sampai akhirnya sekitar setahun lalu Kakak ditransfer ke Jabal Akhdar, Oman, yang kata dia sangat dingin. Bagian dari timur tengah yang dingin, adakah? Nyatanya saya sampai di sana dan merasakan sendiri.

Ada tiga hal yang paling menarik perhatian saya selama 10 hari berkunjug ke Oman, yaitu lansekap, makanan dan budaya makan, dan Alila Jabal Akhdar.

Lansekap Oman

Menjelang waktu mendarat, saya sudah melihat oman dari pesawat. Jujur, saya sangat terkesima dengan apa yang dilihat mata secara langsung. Dataran dengan dominasi warna coklat muda dengan bangunan bangunan beratap rata, bukannya limas kebanyakan di Indonesia. Pemandangan ini benar-benar berbeda dengan apa yang biasa saya lihat. Takjub, menyaksikan langsung belahan dunia lain.
Pemandangan dari balkon hotel di Muscat
Kakak membawa saya ke kota Muscat untuk makan siang. Lagi-lagi saya terheran dengan mulus dan lengangnya jalan-jalan rasa di kota Muscat. Mobil-mobil melaju kencang sekali, 100-120 km/jam (walaupun sebenarnya bisa saja melaju di atas kecepatan itu, tapi batas kecepatannya adalah 120 km/jam. Selain itu, ada speed camera di sepanjang jalan dan mobil otomatis mengeluarkan suara bip menyebalkan jika berkendara melewati batas kecepatan).

Kotanya terlihat sepi, tidak ada orang lalu lalang di trotoar, tidak ada motot-motor menyerobot jalan. Jelas saja, kota Muscat dan kota kota lain di Oman pada umumnya sangat panas hingga 40-50 derajat Celcius jika sedang musim panas. Saya pun rasanya tidak akan keluar rumah kalau sepanas itu.

Jalan jalan mulus tidak hanya di dalam kota, loh. Di pinggir kota sampai jalan-jalan kecil menuju pantai, juga jalanan berliku menuju Jabal Akhdar, hingga jalanan pedesaan di Shabia. Semua jalannya mulus, tidak berlubang. Mau tidak mau saya membayangkan jalanan desa di daerah saya yang baru beberapa bulan diaspal, eh sudah berlubang lagi, rusak lagi. Ya, mungkin ini juga karena di Oman hujan adalah fenomena alam yang sangat langka, jadi jalan-jalannya bisa tahan lama. Tidak seperti di Indonesia yang punya musim hujan beberapa bulan setahun. Tapi saya kira memang pemerintah Oman sangat serius mengurusi jalanan, buktinya di setiap turunan jalur menuju Jabal Akhdar dibuatkan lajur untuk rem blonk itu (apa ya namanya?). Kemudian saya membayangkan lagi jalanan berkelok dari Wanagiri ke rumah.

Selain jalanan, Oman juga punya pantai! Kakak dan Issam mengajak saya memancing di Bimmah. Pantainya memang tidak secantik pantai pantai tropis, tapi lumayan kok untuk duduk duduk walaupun tidak ada penjual kelapa muda atau bakso di pinggir jalannya. Orang-orang biasa datang berpiknik ke sini, membawa makanan dan peralatan barbeque bahkan tenda. 
Bangunan berwarna coklat kekuningan di sebelah kanan adalah penginapan kami di Bimmah
Selanjutnya ada Bimmah sinkhole! Bimmah sinkhole ini cantik banget. Warna airnya dari atas turqoise, airnya seger bangettt. Banyak orang datang ke sini buat main air, berenang, dan ada juga orang lokal yang loncat dari tepian lubang di atas. Ohya, di sini (dalam lubang) enggak panas kayak di kota he he. Saya menyesal tidak bawa baju ganti ke sini, jadi tidak sempat nyemplung. 

Berpindah dari sinkhole, gurun pasir adalah dataran paling menarik yang pernah saya lihat! Luar biasa cantik dengan pasirnya yang sangat halus dan tidak berasa lengket seperti pasir pantai (iyalah! pasir pantai kan banyak air garamnya). Jujur saya bingung menggambarkan indahnya gurun pasir, biar foto saja yang bicara. Betah deh rasanya kalau disuruh berguling di sana sepanjang sore sampai matahari terbenam. Yessss! Ini pengalaman baru lagi, menikmati sunset dari puncak tumpukan pasir bukannya di pantai.
Menunggu sunset di gurun pasir
"Loh? Bukannya gurun pasir itu panas banget ya?!"

Iya, panas banget kalau siang. Jadi kemarin kami berangkat ke gurun dari Muscat, perjalanannya berjam-jam. Sepanjang jalan ya pemandangannya monoton, dari kota, kemudian gak ada apa apa hanya hamparan coklat. Tidur, bangun, makan, melongo ke jendela, tidur, bangun, nyemil hingga beberapa kali putaran haha. Kami sampai di sekitar jam 2 atau 3 siang kemudian langsung masuk kamar penginapan, tidur siang. 
Penginapan kami saat bermalam di Sharqiya
Kami baru keluar sekitar jam 5 sore, bersiap siap menjelajah gurun. Sebelum mendaki gunung-gunung pasir, ban-ban setiap mobil harus dikempeskan agar lebih stabil saat dikendarai. Setelah itu baru deh kami memilih-milih puncak mana yang akan dituju. Jujur, kalau saya sendirian ya pasti sudah nyasar di tengah gurun. Tidak ada petunjuk arah sama sekali. Hanya ada sisa jejak ban mobil yang sering kali tiba-tiba hilang jejak di ujung karena sudah terkikis angin.

Sebagai catatan, jika teman pengemudi kendaraanmu cukup cakap, berkendara di gurun itu sangat seru dan menyenangkan! Mulai dari mencoba slope tajam gunung pasir, mencari puncak yang tidak ada jejak ban, hingga berusaha lolos dari cekungan pasir yang bikin degdegan! Sering loh ada pengemudi yang kurang lihai hingga akhirnya mobil mereka terjebak dan harus menunggu bantuan mobil-mobil lain untuk menariknya.

Selain itu, di gurun juga ada unta kok. Kita juga bisa membayar untuk menunggang unta di gurun. Tapi saya tidak mau. Kasihan untanya!!!!! 
Orang-orang mencari spot untuk menikmati sunset dan bermain pasir

Mobil-mobil 4WD membawa turis ke puncak-puncak gurun

Saya di gurun pasir!

Makanan dan Budaya Makan

Satu hari, kakak mengajak saya dan 2 orang teman kerjanya untuk pergi berkunjung ke rumah salah satu rekan mereka. Saya berkunjung ke rumah Omani! 

Ketika memasuki majelis atau ruang untuk berkumpul, kami dijamu dengan sekeranjang kecil kurma dan peach kering lengkap dengan Kahwa, semacam kopi khas Oman yang bagi saya rasanya aneh sekali, tidak seperti kopi sama sekali. Satu hal yang menarik perhatian saya: AC dengan ukuran jumbo terpasang di ruang majelis yang tak seberapa besar ini. Saya bertanya pada kakak, kenapa di oman AC besar besar sekali (seperti juga di kamar kakak). Jawabannya saya dapat saat kami makan bersama, kata istri si pemilik rumah, kalau sedang musim panas suhunya bisa 40-50 derajat Celcius. Baik, saya paham.

Oh ya, tempat makan laki-laki dan perempuan juga dipisah loh! Kami (para tamu perempuan) makan di majelis bersama istri pemilik rumah, sedangkan driver kami (laki-laki) makan bersama si pemilik rumah dan anak-anak lelakinya di ruangan lain. 

Yang tak kalah mengejutkan bagi saya yaitu ketika isi piring saya mulai tinggal sedikit, tuan rumah akan menyendokkan nasi lagi beserta lauknya. Tuan rumah akan melakukan hal itu berkali kali! Walaupun kamu menolak, mereka akan tetap menaruh lebih banyak makanan di piringmu!! hahahah. Waktu itu saya jadi makan 3 piring sampai super begah.
Jamuan makan siang di rumah kerabat Kakak untuk 5 orang
Kemudian soal makanan, sepertinya orang oman cuma makan daging dan nasi deh. Lihat saja foto di atas, sayurnya cuma acar. Untuk menjamu 4 orang tamu, mereka masak Shuwa (daging domba yang dipanggang di dalam tanah), lamb chop, dan senampan penuh mandi rice dengan 1 ekor ayam.

Selain itu porsi makan di Oman juga memang besar besar. Pernah saya dan kakak membeli paha ayam goreng, kami pikir porsinya ya seperti lalapan. Tahu-tahu yang datang adalah 6 potong besar paha bawah. Pokoknya selama di sana, kalau kami makan pasti daging dan daging. Ya, wajar juga sih, kan di sana kering, kalau menanam sayur mau cari air dimana? Selama di Oman, saya rindu makan sayuran berlimpah. Untung kakak sempat masak sayur di apartemen, walaupun cuma 1 kali karena sisanya kami makan di luar.

Ohya, soal makan di luar, orang Oman cenderung memilih take away (untuk hampir semua jenis makanan). Bukan hanya McDonald's loh ya, tapi sampai toko kelontong yang jualan semacam teh tarik dan roti tipis itu. Di toko kecil ini, kami benar-benar hanya perlu mengklakson dari tempat parkir lalu pegawainya akan menghampiri, mencatat pesanan kemudian datang lagi dengan semua pesanan kami. Kalau di Indonesia mungkin rasanya sangat tidak sopan yaaa? Hahaha

Terakhir, saya ingin sekali membahas soal chinese food di Oman. Ketika saya mendarat, kakak mengajak saya makan di restoran cina di Muscat. Ekspektasi saya ya tidak jauh-jauh dari makanan Cina pada umumnya dong, banyak bawang putih dengan rasa yang aman di lidah. Eh tapi ternyata ekspektasi saya salah besar. Memang sih mereka sudah berusaha keras untuk memasang berbagai oranmen Cina dengan warna merah dimana-mana, tapi...makanan ini lebih kenapa rasanya mirip makanan India dengan segala rempah-rempahnya. Ya, kalau kata kakak sih, ini karena yang punya restoran orang India dan karyawannya pun orang Banglades.

Dari perjalanan saya kemarin, makanan asia yg rasanya paling benar ya cuma thai food baik yang di food court mall maupun di restoran. Mungkin karena lebih banyak imigran dari Asia Tenggara yang bekerja di sana. Eh tapi rasa bakso di restoran Indonesia kemarin aneh bangeeeettt. Lagi-lagi karena juru masaknya bukan orang Indonesia, tapi orang Banglades :)))))
----

Soal Alila Jabal Akhdar akan dibahas di post selanjutnya saja ya. Post ini sepertinya agak kepanjangan he he. Selamat berlibur Lebaran, semuanya!

Readmore → Mengunjungi Kakak ke Jabal Akhdar (Bagian Pertama)

Saturday, March 16, 2019

Pre-Departure Training Australia Awards Indonesia Okt 2018-Mar 2019

Jumat, 8 Maret 2019, saya resmi lulus program Pre-Departure Training (PDT) Australia Awards Indonesia setelah 4.5 bulan. 

Lama? 
Lumayan sih. Sebenarnya ada banyak drama dan hikmah di balik waktu PDT yang cukup panjang ini. Dramanya dimulai ketika H+13 IELTS di IALF Jakarta yang juga adalah rangkaian seleksi AAS, hasil IELTS saya tidak keluar. Awalnya masih berpikir kalau ada masalah teknis atau pada sistem saja. Jadi di hari itu saya masih bisa nonton alt-J dengan senang dan bahagia di WTF. Tapi setelah ditunggu hingga beberapa hari, hasil saya masih tidak bisa dilihat. Sampai akhirnya di hari ketiga saya menelfon IALF Jakarta sebagai test center untuk mendapatkan jawaban bahwa hasil test saya sedang dalam investigasi. Singkat cerita, di H+20 test, hasil saya masih belum keluar sampai akhirnya saya menelfon pihak Australia Awards Indonesia dan mengetahui kalau sebenarnya skornya sudah ada tapi sertifikatnya belum keluar karena investigasinya belum selesai juga.
Kelas 4.5M2 dengan poster masing masing setelah presentasi dan Paula
Rasanya setengah panik kerena ini kali pertama saya tes dan tidak melakukan hal-hal aneh. Saya tes dengan normal, tidak ada kejadian apapun di hari tes. Tapi di sisi lain saya merasa sudah merelakan ini karena tidak PD dengan jawaban saat JST dan menjadi yakin kalau sepertinya saya belum pantas menerima beasiswa di tahun itu. 

Kurang lebih begini: 
Harusnya sih tadi telfon nanyain testnya, tapi ya namanya juga Jumat~ udah cukup bahagia dengan closing order setelah 6 bulan ga beres beres 😭😭😭🌈🌈🌈🌈

Sebagian besar foto kami seperti ini....
Saya tidak pernah tahu skornya hingga di hari saya mendapatkan email yang isinya saya diterima AAS. Dan di hari saya tahu skor ini, saya masih tetap tidak tahu kalau skor IELTS inilah yang menjadi dasar penentuan lama PDT mulai dari 7 minggu, 9 minggu, 4.5 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan.

Setelah menerima email ya saya senang senang saja dan fokus untuk mengurus resign (yang akhirnya jadi unpaid leave). 

Jadi kalau berdasarkan hasil test, seharusnya saya masuk kelas 7 atau 9 minggu, tapi karena hasil tes saya itu bermasalah, jadilah dilempar ke kelas 4.5 bulan. Oh ya, fakta ini baru saya konfirmasi di 2 minggu sebelum PDT berakhir. HEHEHE.

Sebenarnya, ada keuntungan tersendiri bagi saya berada di kelas 4.5 bulan. Pertama karena jika masuk kelas 7 atau 9 minggu, PDT dimulai beberapa minggu setelah pengumuman diterima dan saya tidak akan diizinkan pabrik karena bos saya masih cuti melahirkan saat itu. Kedua, karena selama 4.5 bulan saya jadi tahu lebih banyak soal pendidikan di Australia dan jadi punya kesempatan untuk memilih ulang kampus tujuan.

Menurutku kami kelas yang seru banget haha
Blessing in disguise, they say.

Nah, PDT ini adalah salah satu pengalaman yang menurut saya sangat berharga dalam hidup. Sama seperti ketika ikut Newmont Bootcamp yang meski hanya 8 hari tapi berefek sangat besar pada cara pandang saya terhadap banyak hal mulai dari cara berkomunikasi, membangun relasi, hingga mengenalkan saya pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya (full time blogger, fotografer, videografer, konsultan PR). Selama PDT, saya berada sekelas dengan orang orang dari latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam. Pegawai dan pejabat pemerintahan, pegawai BUMN, pekerja swasta seperti saya hingga orang yang bekerja di universitas. Lagi-lagi saya mendapat sangat panyak perspektif untuk melihat suatu masalah dan kali ini dengan intensitas yang cukup tinggi karena kami bertemu 5 hari seminggu dan berdiskusi di hampir setiap kelas.

Ada dua hal yang menjadi fokus utama PDT yaitu English for Academic Purpose (EAP) dan Cross Culture Study. Tapi EAP di sini tidak hanya soal meningkatkan kemampuan bahasa Inggris tapi juga study skill dan critical thinking. 

Bagi saya, kelas kelas selama PDT sangat membantu dalam megorganisasikan ide dan mepresentasikannya baik dalam bentuk presentasi verbal maupun tulisan yang dapat diterima secara akademis. Hal ini mungkin tidak terlalu kita sadari, tapi ketika dibiasakan untuk menulis paragraf dengan kalimat utama yang jelas dan kalimat pendukung yang nyambung, pikiran kita juga jadi terbiasa untuk menata ide ide dan elaborasinya. Bukan hanya itu, pengajarnya juga memberikan koreksi dan masukan untuk setiap lembar tulisan yang kita hasilkan. Feedback inipun dibuat dengan sangat detail. Berbeda sekali dengan apa yang saya rasakan selama sekolah dan kuliah dulu yang hasil evaluasinya selalu berupa angka-angka. Dengan feedback tersebut, saya jadi tahu bagian mana yang bisa saya banggakan dan di bagian mana saya masih harus bekerja keras untuk bisa memenuhi standar. 

4.5M2 di akhir bulan pertama PDT bersama Christina
Memang sih, di awal-awal rasanya malaaaaaas sekali menulis dan paling berat kalau Paula, guru kami, memberikan tugas ini. Beberapa kali juga saya harus menulis ulang beberapa essai singkat karena tulisan saya tidak relevan. Hahaha, iya, jadi kalau tulisanmu tidak relevan, mereka akan memintamu menulis ulang dan memberikan feedback kembali untuk revisinya. 

Oh ya, kalau kalimat kita sudah cukup bagus, Paula akan memberikan 1 centang dan kalau kalimat atau paragrafnya sudah sangat bagus dan padu, akan ada 2 centang di sana. Alhasil, saya terobsesi untuk mendapatkan 2 centang. Mencoba menulis sebaik mungkin sesuai dengan masukan dari tulisan sebelumnya. Kami juga biasanya saling membaca tulisan satu sama lain. Bertukar lembar essai yang sudah dikomentari Paula itu di satu sisi untuk melihat cara pandang orang lain terhadap topik itu dan di sisi lain untuk melihat tulisan teman yang mendapat 2 centang agar bisa kita jadikan bahan perbaikan di tulisan kita hahaha. 

Pencapaian menulis terbaik selama PDT tentu saja essai 2000 kata dengan topik sesuai bidang kita. Itu adalah pertama kalinya saya menulis dimana setiap kalimat dalam paragrafnya benar-benar dipikirkan, tidak nyampah, dan sebisa mungkin tidak membuat klaim kosong tanpa bukti pendukung. 

Jujur, selama masa penulisannya, tiap malam tidur rasanya tidak nyenyak. Kepikiran. Tapiiii, saya sangat terbantu dengan program PDT yang super terstruktur ini. Jadi di 2 minggu pertama kami harus membulatkan tema dan pertanyaan untuk essainya. Ada beberapa kali sesi konsultasi yang sangat konstruktif dengan Paula. Pertanyaan-pertanyaannya membuat saya memikirkan ulang tujuan penulisan dan sudut pandang essainya agar tetap menarik dan relevan secara akademis. Selanjutnya ada periode pengumpulan sumber bacaan yang harus dibuat dalam tabel untuk kemudian direview lagi oleh Paula. Paula juga tidak jarang memberikan tambahan sumber bagi saya dan teman teman yang lain baik berupa jurnal maupun kelas kelas online yang sedang membahas topik itu. Pada minggu berikutnya, kami harus membuat mind map untuk semua argumen beserta bukti dan sumber pendukungnya sebelum didiskusikan dengan kelas lain.
Binang sedang mepresentasikan postenya mengenai humanitarian law kalau tidak salah
Selesai dengan diskusi, maka terbitlah draft pertama yang harus dikumpulkan untuk direview Paula. Selama masa review itu, kami disibukkan dengan pembuatan poster untuk dipresentasikan di auditorium. Ini adalah bagian paling seru menurut saya karena ini juga adalah pengalaman pertama melakukan presentasi dengan poster A1. Ketika semua orang sibuk dengan desain poster, komputer di perpustakaan tiba-tiba penuh ahhaa. Banyak dari kami menghabiskan waktu sampai sore di sana. Oh ya, poster juga tidak lepas dari feedback Paula. Setelah poster, tenggat waktu pengumpulan essai final sudah di depan mata! Tapi lagi-lagi, kami tidak dibiarkan tenggelam sendiri. Hari-hari sebelum pengumpulan, kami diberikan waktu untuk mengoreksi draft satu sama lain mulai dari kohesi antar paragraf hingga grammar.
4.5M2 di University Day setelah mengunjungi satu per satu booth universitas
Kelas terakhir bersama Paula
Hari saat pengumpulan essai adalah hari paling melegakan selama PDT. Setelah itu rasanya tidak ada beban. Eh, tapi setelah itu kami masuk fase persiapan IELTS intensif selama 2 minggu.
Briefing¬
Selain belajar bahasa Inggris untuk akademik, ada 3 kelas lain yang wajib kami ikuti selama PDT, yaitu Cross Culture, kelas komputer, dan kelas literasi penulisan akademik. Kelas Cross Culture diadakan 2 kali seminggu, sedangkan 2 kelas lainnya diadakan selang seling karena materinya tidak terlalu banyak.

Cross Culture adalah kelas yang sangat menyenangkan sekaligus baru bagi saya. Di kelas ini, Barbara memberikan berbagai macam materi tentang kehidupan di australia melalui diskusi-diskusi santai. Pembahasannya bukan cuma soal kehidupan akademik, tapi juga kehidupan sosial termasuk berbagai life hacks. Melalui kelas ini saya bisa mendapatkan gambaran mengenai hidup sebagai international student di Australia.


Kelas Cross Culture terakhir dengan kuis ala Famili 100

Menteng Atas, 15.03.2019 21.53
Updated from Oman, 07.04.2018 19.25
Readmore → Pre-Departure Training Australia Awards Indonesia Okt 2018-Mar 2019