Tuesday, June 4, 2019

Mengunjungi Kakak ke Jabal Akhdar (Bagian Pertama)

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa saya akan ke Timur Tengah, untuk alasan apapun. Timur Tengah, apalagi Oman, bagi saya adalah negeri di entah berantah, hanya ada pasir (dan minyak). Tahunya orang ke Timur Tengah ya ke Arab Saudi untuk Haji, atau Dubai tempat orang orang transit, atau negara-negara yang sering muncul di berita karena peperangan seperti Iran dan Irak.

Sampai akhirnya sekitar setahun lalu Kakak ditransfer ke Jabal Akhdar, Oman, yang kata dia sangat dingin. Bagian dari timur tengah yang dingin, adakah? Nyatanya saya sampai di sana dan merasakan sendiri.

Ada tiga hal yang paling menarik perhatian saya selama 10 hari berkunjug ke Oman, yaitu lansekap, makanan dan budaya makan, dan Alila Jabal Akhdar.

Lansekap Oman

Menjelang waktu mendarat, saya sudah melihat oman dari pesawat. Jujur, saya sangat terkesima dengan apa yang dilihat mata secara langsung. Dataran dengan dominasi warna coklat muda dengan bangunan bangunan beratap rata, bukannya limas kebanyakan di Indonesia. Pemandangan ini benar-benar berbeda dengan apa yang biasa saya lihat. Takjub, menyaksikan langsung belahan dunia lain.
Pemandangan dari balkon hotel di Muscat
Kakak membawa saya ke kota Muscat untuk makan siang. Lagi-lagi saya terheran dengan mulus dan lengangnya jalan-jalan rasa di kota Muscat. Mobil-mobil melaju kencang sekali, 100-120 km/jam (walaupun sebenarnya bisa saja melaju di atas kecepatan itu, tapi batas kecepatannya adalah 120 km/jam. Selain itu, ada speed camera di sepanjang jalan dan mobil otomatis mengeluarkan suara bip menyebalkan jika berkendara melewati batas kecepatan).

Kotanya terlihat sepi, tidak ada orang lalu lalang di trotoar, tidak ada motot-motor menyerobot jalan. Jelas saja, kota Muscat dan kota kota lain di Oman pada umumnya sangat panas hingga 40-50 derajat Celcius jika sedang musim panas. Saya pun rasanya tidak akan keluar rumah kalau sepanas itu.

Jalan jalan mulus tidak hanya di dalam kota, loh. Di pinggir kota sampai jalan-jalan kecil menuju pantai, juga jalanan berliku menuju Jabal Akhdar, hingga jalanan pedesaan di Shabia. Semua jalannya mulus, tidak berlubang. Mau tidak mau saya membayangkan jalanan desa di daerah saya yang baru beberapa bulan diaspal, eh sudah berlubang lagi, rusak lagi. Ya, mungkin ini juga karena di Oman hujan adalah fenomena alam yang sangat langka, jadi jalan-jalannya bisa tahan lama. Tidak seperti di Indonesia yang punya musim hujan beberapa bulan setahun. Tapi saya kira memang pemerintah Oman sangat serius mengurusi jalanan, buktinya di setiap turunan jalur menuju Jabal Akhdar dibuatkan lajur untuk rem blonk itu (apa ya namanya?). Kemudian saya membayangkan lagi jalanan berkelok dari Wanagiri ke rumah.

Selain jalanan, Oman juga punya pantai! Kakak dan Issam mengajak saya memancing di Bimmah. Pantainya memang tidak secantik pantai pantai tropis, tapi lumayan kok untuk duduk duduk walaupun tidak ada penjual kelapa muda atau bakso di pinggir jalannya. Orang-orang biasa datang berpiknik ke sini, membawa makanan dan peralatan barbeque bahkan tenda. 
Bangunan berwarna coklat kekuningan di sebelah kanan adalah penginapan kami di Bimmah
Selanjutnya ada Bimmah sinkhole! Bimmah sinkhole ini cantik banget. Warna airnya dari atas turqoise, airnya seger bangettt. Banyak orang datang ke sini buat main air, berenang, dan ada juga orang lokal yang loncat dari tepian lubang di atas. Ohya, di sini (dalam lubang) enggak panas kayak di kota he he. Saya menyesal tidak bawa baju ganti ke sini, jadi tidak sempat nyemplung. 

Berpindah dari sinkhole, gurun pasir adalah dataran paling menarik yang pernah saya lihat! Luar biasa cantik dengan pasirnya yang sangat halus dan tidak berasa lengket seperti pasir pantai (iyalah! pasir pantai kan banyak air garamnya). Jujur saya bingung menggambarkan indahnya gurun pasir, biar foto saja yang bicara. Betah deh rasanya kalau disuruh berguling di sana sepanjang sore sampai matahari terbenam. Yessss! Ini pengalaman baru lagi, menikmati sunset dari puncak tumpukan pasir bukannya di pantai.
Menunggu sunset di gurun pasir
"Loh? Bukannya gurun pasir itu panas banget ya?!"

Iya, panas banget kalau siang. Jadi kemarin kami berangkat ke gurun dari Muscat, perjalanannya berjam-jam. Sepanjang jalan ya pemandangannya monoton, dari kota, kemudian gak ada apa apa hanya hamparan coklat. Tidur, bangun, makan, melongo ke jendela, tidur, bangun, nyemil hingga beberapa kali putaran haha. Kami sampai di sekitar jam 2 atau 3 siang kemudian langsung masuk kamar penginapan, tidur siang. 
Penginapan kami saat bermalam di Sharqiya
Kami baru keluar sekitar jam 5 sore, bersiap siap menjelajah gurun. Sebelum mendaki gunung-gunung pasir, ban-ban setiap mobil harus dikempeskan agar lebih stabil saat dikendarai. Setelah itu baru deh kami memilih-milih puncak mana yang akan dituju. Jujur, kalau saya sendirian ya pasti sudah nyasar di tengah gurun. Tidak ada petunjuk arah sama sekali. Hanya ada sisa jejak ban mobil yang sering kali tiba-tiba hilang jejak di ujung karena sudah terkikis angin.

Sebagai catatan, jika teman pengemudi kendaraanmu cukup cakap, berkendara di gurun itu sangat seru dan menyenangkan! Mulai dari mencoba slope tajam gunung pasir, mencari puncak yang tidak ada jejak ban, hingga berusaha lolos dari cekungan pasir yang bikin degdegan! Sering loh ada pengemudi yang kurang lihai hingga akhirnya mobil mereka terjebak dan harus menunggu bantuan mobil-mobil lain untuk menariknya.

Selain itu, di gurun juga ada unta kok. Kita juga bisa membayar untuk menunggang unta di gurun. Tapi saya tidak mau. Kasihan untanya!!!!! 
Orang-orang mencari spot untuk menikmati sunset dan bermain pasir

Mobil-mobil 4WD membawa turis ke puncak-puncak gurun

Saya di gurun pasir!

Makanan dan Budaya Makan

Satu hari, kakak mengajak saya dan 2 orang teman kerjanya untuk pergi berkunjung ke rumah salah satu rekan mereka. Saya berkunjung ke rumah Omani! 

Ketika memasuki majelis atau ruang untuk berkumpul, kami dijamu dengan sekeranjang kecil kurma dan peach kering lengkap dengan Kahwa, semacam kopi khas Oman yang bagi saya rasanya aneh sekali, tidak seperti kopi sama sekali. Satu hal yang menarik perhatian saya: AC dengan ukuran jumbo terpasang di ruang majelis yang tak seberapa besar ini. Saya bertanya pada kakak, kenapa di oman AC besar besar sekali (seperti juga di kamar kakak). Jawabannya saya dapat saat kami makan bersama, kata istri si pemilik rumah, kalau sedang musim panas suhunya bisa 40-50 derajat Celcius. Baik, saya paham.

Oh ya, tempat makan laki-laki dan perempuan juga dipisah loh! Kami (para tamu perempuan) makan di majelis bersama istri pemilik rumah, sedangkan driver kami (laki-laki) makan bersama si pemilik rumah dan anak-anak lelakinya di ruangan lain. 

Yang tak kalah mengejutkan bagi saya yaitu ketika isi piring saya mulai tinggal sedikit, tuan rumah akan menyendokkan nasi lagi beserta lauknya. Tuan rumah akan melakukan hal itu berkali kali! Walaupun kamu menolak, mereka akan tetap menaruh lebih banyak makanan di piringmu!! hahahah. Waktu itu saya jadi makan 3 piring sampai super begah.
Jamuan makan siang di rumah kerabat Kakak untuk 5 orang
Kemudian soal makanan, sepertinya orang oman cuma makan daging dan nasi deh. Lihat saja foto di atas, sayurnya cuma acar. Untuk menjamu 4 orang tamu, mereka masak Shuwa (daging domba yang dipanggang di dalam tanah), lamb chop, dan senampan penuh mandi rice dengan 1 ekor ayam.

Selain itu porsi makan di Oman juga memang besar besar. Pernah saya dan kakak membeli paha ayam goreng, kami pikir porsinya ya seperti lalapan. Tahu-tahu yang datang adalah 6 potong besar paha bawah. Pokoknya selama di sana, kalau kami makan pasti daging dan daging. Ya, wajar juga sih, kan di sana kering, kalau menanam sayur mau cari air dimana? Selama di Oman, saya rindu makan sayuran berlimpah. Untung kakak sempat masak sayur di apartemen, walaupun cuma 1 kali karena sisanya kami makan di luar.

Ohya, soal makan di luar, orang Oman cenderung memilih take away (untuk hampir semua jenis makanan). Bukan hanya McDonald's loh ya, tapi sampai toko kelontong yang jualan semacam teh tarik dan roti tipis itu. Di toko kecil ini, kami benar-benar hanya perlu mengklakson dari tempat parkir lalu pegawainya akan menghampiri, mencatat pesanan kemudian datang lagi dengan semua pesanan kami. Kalau di Indonesia mungkin rasanya sangat tidak sopan yaaa? Hahaha

Terakhir, saya ingin sekali membahas soal chinese food di Oman. Ketika saya mendarat, kakak mengajak saya makan di restoran cina di Muscat. Ekspektasi saya ya tidak jauh-jauh dari makanan Cina pada umumnya dong, banyak bawang putih dengan rasa yang aman di lidah. Eh tapi ternyata ekspektasi saya salah besar. Memang sih mereka sudah berusaha keras untuk memasang berbagai oranmen Cina dengan warna merah dimana-mana, tapi...makanan ini lebih kenapa rasanya mirip makanan India dengan segala rempah-rempahnya. Ya, kalau kata kakak sih, ini karena yang punya restoran orang India dan karyawannya pun orang Banglades.

Dari perjalanan saya kemarin, makanan asia yg rasanya paling benar ya cuma thai food baik yang di food court mall maupun di restoran. Mungkin karena lebih banyak imigran dari Asia Tenggara yang bekerja di sana. Eh tapi rasa bakso di restoran Indonesia kemarin aneh bangeeeettt. Lagi-lagi karena juru masaknya bukan orang Indonesia, tapi orang Banglades :)))))
----

Soal Alila Jabal Akhdar akan dibahas di post selanjutnya saja ya. Post ini sepertinya agak kepanjangan he he. Selamat berlibur Lebaran, semuanya!

No comments:

Post a Comment